Kampoeng Inggrs

salam


Sabtu, 26 November 2011

Masuknya Islam di Kabupaten Soppeng


BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sejarah Soppeng diawali dengan munculnya “Tomanurung” dalam istilah bahasa Indonesia dikenal sebagai orang yang muncul seketika. Saat itu, masyarakat Soppeng tengah dilanda kegetiran dan kemiskinan ditambah dengan penderitaan rakyat, maka berkumpullah tokoh-tokoh masyarakat “tudang sipulung” untuk membahas masalah ini, di tengah pembicaraan mereka, seekor burung kakak tua (dalam bahasa Bugis dikenal sebagai “cakkelle”). Cakkelle ini terbang tepat di atas perkumpulan itu, sehingga para tokoh yang melihatnya merasa ada sesuatu yang lain dari cakkelle ini. Akhirnya pimpinan tudang sipulung menyuruh si Jumet, salah seorang toko masyarakat bersama dengan rekannya yang lain untuk mengikuti cakkelle tersebut.
Hari Ulang Tahun Kab. Soppeng sebelumnya ditetapkan pada 13 Maret 1957 yang bertumpu pada keluarnya Undang-Undang No. 4 Tahun 1954 tentang pembentukan Daerah Otonom Bone, Wajo dan Soppeng di pandang menyimpang dari obyektivitas sejarah. Oleh karena itu sejumlah cendekiawan melakukan usun rembuk kajian sejarah yang makin dipertajam. Kesimpulan yang dihasilkan, hari ulang tahun Kab. Soppeng mesti merangkai benang merah masa lalu dengan perhitungan pelantikan LATEMMALAMANURUNG’E RI SEKKANYILIK yang menjadi Raja pertama Kab. Soppeng pada tahun 1261. Ikhwal penetapan tanggal dan bulan ditarik dari saat-saat yang memiliki makna tertentu, penetapan tanggal 23 dimaksudkan sebagai “Dua Tellu” yang berarti beberapa orang yang memiliki kebersamaan persatuan dan kesatuan (tidak sendirian). Adapun momentum bulan Maret sebagai pelantikan Bupati yang pertama sepanjang sejarah berdirinya Kabupaten Soppeng.
Itulah sedikit penggambaran kabupaten Soppeng.  Namun, tak hanya sampai disitu, ada banyak hal yang harus kita ketahui tentang kabupaten Soppeng, apalagi saya sebagai putri daerahnya. Salah satunya adalah proses masuknya islam di kabupaten Soppeng.
Islam adalah agama mayoritas penduduk di Soppeng, namun tak banyak dari kita yang mengetahui proses masuknya islam di daerah tersebut. Oleh karena itu, saya mencoba menyusun makalah ini agar dapat menambah sedikit pengetahuan kita tentang proses masuknya islam di Kabupaten Soppeng.

B. RUMUSAN MASALAH
            Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan beberapa rumusan masalah:
  1. bagaimana sejarah Kabupaten Soppeng?
  2. Dimana letak kabupaten Soppeng?
  3. Bagaimana proses masuknya Islam di Kabupaten Soppeng?











BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Kabupaten Soppeng
            Soppeng adalah sebuah kota kecil dimana dalam buku-buku lontara terdapat catatan tentang raja-raja yg pernah memerintah sampai berakhirnya status daerah Swapraja, satu hal menarik sekali dalam lontara tersebut bahwa jauh sebelum terbentuknya kerajaan Soppeng, telah ada kekuasaan yang mengatur daerah Soppeng, yaitu sebuah pemerintahan berbentuk demokrasi karena berdasar atas kesepakatan 60 pemukan masyarakat, namun saat itu Soppeng masih merupakan daerah yang terpecah-pecah sebagai suatu kerajaan-kerajaan kecil. Hal ini dapat dilihat dari jumlah Arung,Sulewatang, dan Paddanreng serta Pabbicara yang mempunyai kekuasaan tersendiri. Setelah kerajaan Soppeng terbentuk maka dikoordinir oleh Lili-lili yang kemudian disebut Distrik di Zaman Pemerintahan Belanda.
Literatur yang ditulis tentang sejarah Soppeng masih sangat sedikit. Sebagaimana tentang daerah-daerah di Limae Ajattappareng, juga Mandar dan Toraja, Soppeng hanyalah daerah “kecil” dan mungkin “kurang signifikan” untuk diperebutkan oleh dominasi dua kekuatan di Sulawesi Selatan yakni Luwu dan Siang sebelum abad ke-16. Namun demikian, seperti disebutkan oleh sebuah kronik Soppeng, dulunya Soppeng bersama Wajo, sangat bergantung kepada kerajaan Luwu.
Seiring menguatnya kekuatan persekutuan Goa-Tallo di Makassar; untuk mengimbanginya, Bone sempat mengajak Wajo dan Soppeng membentuk persekutuan Tellumpocco pada perjanjian Timurung tahun 1582. Akan tetapi, masuknya Islam di Sulawesi Selatan di paruh akhir abad ke-16, ditandai dengan masuknya Karaeng Tallo I Mallingkang yang lebih dikenal sebagai Karaeng Matoaya serta penguasa Goa I Manga’rangi yang kemudian bergelar Sultan Alauddin, telah merubah peta politik di Sulawesi Selatan. Untuk sementara, kekuatan Bugis Makassar menjadi satu kekuatan baru untuk melawan orang kafir ketika Soppeng dan Sidenreng memeluk Islam tahun 1609, Wajo 1610 dan akhirnya Bone pada tahun 1611.
Perkembangan berikutnya sepanjang abad ke-17, menempatkan Soppeng pada beberapa perubahan keputusan politik ketika persaingan Bone dan Goa semakin menguat. Jauh sebelum perjanjian Timurung yang melahirkan persekutuan Tellumpocco, sebenarnya Soppeng sudah berada di pihak kerajaan Goa dan terikat dengan perjanjian Lamogo antara Goa dan Soppeng. Persekutuan Tellumpocco sendiri lahir atas “restu” Goa. Namun, ketika terjadi gejolak politik antara Bugis dan Makassar disebabkan oleh gerakan yang dipelopori oleh Arung Palakka dari Bone, Soppeng sempat terpecah dua ketika Datu Soppeng, Arung Mampu, dan Arung Bila bersekutu dengan Bone pada tahun 1660 sementara sebagian besar bangsawan Soppeng yang lain menolak perjanjian di atas rakit di Atappang itu.
Itulah  cuplikan kecil sejarah Soppeng di abad 16-17 yang terekam di dalam beberapa literatur penting. Sayangnya, walaupun buku kecil ini memuat subyek sejarah di judul kecilnya, alur fragmen penting sejarah Soppeng, minimal rangkumannya, tidak disentuh sama sekali kecuali kutipan Lontara Soppeng yang menuliskan silsilah raja-raja Soppeng mulai dari La Temmamala ManurungngE ri Sekkannyili yang menjadi raja pertama di sekitar tahun 1300 sampai raja-raja Soppeng berikutnya yang berakhir di tahun 1957 serta beberapa catatan kecil lainnya.
Daerah Soppeng sebenarnya adalah daerah urban. Penduduk asli yang mendiami daerah ini semula berasal dari dua tempat, Sewo dan Gattareng. Kedua kelompok ini meninggalkan daerahnya masing-masing dan hidup berdampingan di Soppeng, kelompok yang datang dari daerah Sewo disebut orang Soppeng Riaja, dan kelompok yang berasal dari Gattareng disebut orang Soppeng Rilau. Mereka kemudian dipimpin oleh kepala-kepala persekutuan di kedua daerah masing-masing yang jumlahnya enam puluh orang pada waktu itu.
Belakangan, muncul seorang tomanurung di Sekkannyilli (wilayah Soppeng Riaja). Ketua-ketua persekutuan Soppeng Riaja dan Soppeng Rilau kemudian sepakat untuk mengangkat tomanurung tersebut sebagai raja. Sayangnya, ManurungngE ri Sekkannyili “menolak” penunjukan tersebut kecuali dengan tiga syarat: tidak dikhianati, tidak disekutukan, dan mengangkat sepupu sekalinya yang juga tomanurung di Libureng (wilayah Soppeng Rilau) sebagai raja di Soppeng Rilau.
Dan begitulah, wilayah Soppeng pertama kali dipimpin oleh dua raja “kembar” tomanurung melalui pembagian wilayah kekuasaan. Selanjutnya, setelah kematian kedua raja ini, keturunan merekalah berdua yang silih berganti melanjutkan pemerintahan dengan menggabungkan wilayah Soppeng Riaja dan Soppeng Rilau ke dalam satu wilayah kekuasaan yang kemudian disebut Soppeng saja.
B. Letak Kabupaten Soppeng
Soppeng terletak pada depresiasi sungai Walanae yang terdiri dari daratan dan perbukitan dengan luas daratan ± 700 km2 serta berada pada ketinggian rata-rata antara 100-200 m di atas permukaan laut.
Luas daerah perbukitan Soppeng kurang lebih 800 km2 dan berada pada ketinggian rata-rata 200 m di atas permukaan laut. Ibukota Kabupaten Soppeng adalah kota Watansoppeng yang berada pada ketinggian 120 m di atas permukaan laut.
Kabupaten Soppeng tidak memiliki wilayah pantai. Wilayah perairan hanya sebagian dari Danau Tempe. Gunung-gunung yang ada di wilayah Kabupaten Soppeng menurut ketinggiannya adalah sebagai berikut:
* Gunung Nene Conang 1.463 m
* Gunung Sewo 860 m
* Gunung Lapancu 850 m
* Gunung Bulu Dua 800 m
* Gunung Paowengeng 760 m
Kabupaten Soppeng memiliki tempat-tempat wisata berupa permandian air panas alami yang bernama “LEJJA”, kolam permandian mata air “OMPO” dan permandian alam “CITTA”. Lejja berjarak ± 40 Kilometer dari pusat kota, terletak di desa Batu-batu, Kecamatan Marioriawa.

Wilayah Kabupaten Soppeng

Wilayah Kabupaten Soppeng dibagi menjadi 8 kecamatan, yaitu:
1. Citta
2. Donri Donri
3. Ganra
4. Lalabata
5. Lili Riaja
6. Lili Rilau
7. Mario Riawa
8. Mario Riwawo[1]
·         Batas wilayah
Utara: Kabupaten Sidrap dan Kabupaten Wajo
Selatan: Kabupaten Bone
Barat: Kabupaten Barru
Timur: Kabupaten Bone dan Kabupaten Wajo
·         Letak Geografis
Kabupaten Soppeng terletak didepresiasi Sungai Walanae, yang terdiri dari daratan dan perbukitan. Daratan seluas + 700 km2 berada pada ketinggian rata-rata kurang lebih 60 M.
Perbukitan yang luasnya + 800 Km2 berada pada ketinggian rata-rata +200M diatas permukaan laut. Ibukota Kabupaten Soppeng yaitu Kota Watansoppeng berada pada ketinggian + 120 M di atas permukaan laut.[2]
C. Sejarah Masuknya Islam di Soppeng
Islam telah masuk pada periode awal abad ke-17 Masehi atas prakarsa raja Gowa ke-14 Sultan Alauddin. Islam diterima sebagai agama resmi kerajaan Soppeng pada tahun 1609 pada masa pemerintahan Datu Soppeng ke-14 bernama Datu Beoe. Ketika itu, Sultan Alauddin sebagai Raja Gowa ke-14 mengajak seluruh raja-raja di daerah Bugis untuk memeluk ajaran baru (agama Islam), namun kerajaan-kerajaan Bugis seperti Bone, Soppeng, Wajo, Ajatappareng menolak ajakan tersebut, sehingga raja Gowa harus menempuh jalan lain, yaitu memerangi mereka. Peristiwa tersebut yang dikenal dengan musu assellengeng (periksa Andaya, 2004 : 24).
Meskipun dimaklumi bahwa masuknya Islam ke wilayah Soppeng agak terlambat jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Sulawsei Selatan, namun kini Islam justru telah menjadi identitas komunal bagi suku Bugis di Soppeng. Awalnya orang Sulawesi Selatan pada era sejarah masih tetap resisten dalam adaptasinya menghadapi transformasi idiologis dan sosial kultural, namun akhirnya Islam dapat diterima juga, bahkan pada perkembangan selanjutnya menjadi motor penggerak dalam kehidupan ekonomi dan pemerintahan bagi suku Bugis, Makassar, dan Mandar (Fadilla, 1999 : 99). Hal itu didorong oleh adaptasinya dalam interaksi sosial politik dengan etnik besar lainnya seperti Luwu dan Makassar yang telah lebih dahulu menerima Islam.
Diterimanya Islam sebagai agama resmi masyarakat berarti perubahan drastis telah menandai zamannya. Ada indikasi bahwa di Soppeng juga menerima Islam dan bahkan mengalami perkembangannya dengan bukti-bukti arkeologis berupa makam yang megah dan kaya akan ragam hias terutama terlihat pada kompleks maka raja-raja
Soppeng di Jera Lompoe, Bila. Dalam persepktif masa kini, kehidupan masyarakat senantiasa ingin menunjukkan identitas budaya dan penghormatan yang tinggi kepada pemimpin atau raja mereka. Penataan makam yang terletak di dalam kompleks tersebut menunjukkan identitas penghormatan dan seakan-akan ada pembagian ruang bagi seorang tokoh yang kharismatik.
Para pemukim yang menganut Islam pada perkembangan kemudian tersebar pada beberapa karakter daerah yang beragam. Di sisi lain mereka memanfaatkan kondisi alam yang meskipun memiliki karakter yang berbeda, namun tetap konsisten dengan agama yang dianut dan sangat dimungkinkan untuk mengembangkan budaya yang diaplikasikannya dalam ajaran Islam sebagai anutan mereka. Masyarakat seolah-olah telah mengalami resistensi budaya yang panjang, namun hanya beberapa lama kemudian sejarah baru mulai diterapkan dan Islam sejak itu terintegrasi dalam budaya Bugis, Makassar dan Mandar (Fadillah,1999:106).
Peranan penyebar Islam di daerah tersebut lebih menekankan pada praktek-praktek ritus dan pengukuhan syariah. Perilaku religius dan pengenalan ritus-ritus Islam seperti khitanan dan penamatan Al-Qur’an, pernikahan dan upacara Maulid. Penerapan ajaran Islam pun masih bersifat toleran dengan memberi kelonggaran dalam memasukkan budaya-budaya lokal sejauh hal itu tidak bertentangan dengan aqidah.
DAFTAR PUSTAKA
http://news.surfing24.net/ogi?feed.785175=9 dikses 30 Okt. 11 pukul 09.12
http://soppeng.info/ diakses pada 25 okt. 11 pukul 09.35 wita

BISMILLAH

Akhirnya jadi juga blogQ ini.. Semoga ini bisa bermanfaat untukQ dan untuk semua orang yang membutuhkannya... AMIENNNN