Kampoeng Inggrs

salam


Senin, 23 April 2012

Sang Maut

“Waladdaaallliin. Amiiin”, ucap laki-laki itu mengakhiri doanya

Ia kemudian meraih tas cangklongnya dan meneruskan perjalanan. Ke sebuah toko buku, tempatnya bekerja paruh waktu. Bekerja di selah-selah jadwal kulaihnya yang padat untuk menghidupi satu-satunya anggota keluarganya yang masih hidup. Seseorang yang membuatnya tetap tegar menghadapi apapun. Raehanah, adiknya yang berusia enam tahun.

Laki-laki itu terus melangkah menyusuri trotoar yang berdebu. Langkahnya dipercepat untuk menghindari muntahan karbonmonoksida dari kendaraan yang melintasi jalan. Belum lagi suara deru kendaraan yang makin memekakkan telinga. Semuanya menyatu dengan kesibukan siang itu. "Sibuk dengan dunia yang tanpa sadar menjaikan mereka budaknya", gumam laki-laki itu.

 Tiba-tiba langkahnya terhenti, ia melihat lautan manusia di hadapannya. Gemuruh suara manusia menyatu dengan terik matahari. Membuat dunia seakan mau meledak. Bukan hanya itu, beberapa aparat melemparkan gas air mata dan timah panas. Suasana menjadi semakin kacau. Ia bergegas meninggalkan tempat itu. Melewati lautan manusia yang berhamburan menghindari peluru nyasar.
Tapi tiba-tiba.......

“Aaaaaaaaaaaakhhhhhh.............!!!!!”, teriaknya sambil memegang lengannya. Laki-laki itu terus berlari walaupun kini tubuhnya mendadak keram dan semakin kaku. Tak hanya itu, kini, sebutir peluru menghantam rusuknya. Rasa sakitnya yang kian menjadi diimbangi dengan menyebut nama Allah. Ia terus berjuang menahan berat tubuhnya agar tidak ambruk, namun sia-sia. Selang bebebrapa detik, tubuhnya terkapar diantara massa yang menghambur.

Tak lama kemudian ia tersadar. Ia melihat darahnya mengalir pelan-pelan di trotoar menuju selokan yang airnya hampir tidak dapat mengalir. Rasa sakitnya kini semakin menyiksa. Tapi, ia tidak memedulikannya. Ia heran sekali saat merasa dirinya dapat terbang bersama awan putih yang menyilaukan.  Kini ia dapat menaiki awan dan terbang kemana saja yang dikehendakinya.

Ia pun terus terbang di awan hingga ia menemukan gumpalan awan yang cukup luas. “Bukan, sangat luas”, ralatnya. Diamatinya tempat itu dengan seksama. Sesekali ia tercengang melihat pilar-pilar indah yang menjulang kokoh tanpa ujung.

Setelah ia berjalan cukup jauh, langkahnya terhenti saat ia menemukan sebuah pintu dengan ornamen yang begitu indah. Ia tidak pernah melihat pintu seindah itu sebelumnya, hingga tak dapat ia lukiskan dengan kata-kata.

“ Tempat apa ini?”, tanyanya pda makhluk pertama yang ditemuinya. Makhluk yang memancarkan cahaya disekujur tubuhnya dengan sepasang sayap. Malaikat mungkin.
“Ini akhirat”, jawabnya singkat.
“Jadi maksudmu aku ini...?”
“Ya! Dan semua yang ada disini akan menemui Tuhannya”.
“Tapi tak sepantasnya aku disini. Seharusnya aku berada di toko buku, menghidupi adikku. Ya Tuhan, Anna adikku! Bagaimana ia tanpaku? Ia akan hidup sebatang kara. Ah... tak seharusnya aku disini, aku harus pulang”, ia bergegas keluar dari tempat itu.
“Ini sudah takdirmu, jalanilah!” teriak makhluk itu.
“Tidak!” teriaknya. “Aku hanya lewat dan tertembak. Ini suatu kesalahan! Tuhan, Engkau tidak adil! Dimana letak Kemahaadilanmu Tuhan? Adikku Anna masih terlalu kecil. Ia masih sangat membutuhkanku. Dimana Maha KasihMu untuknya Tuhan?” teriaknya.
“Kalau begitu, silakan kamu ke tempat itu. Disanalah tempat orang-orang yang mengingkari takdirnya. Tempat orang-orang yang menyalahkan Tuhannya. Kesanalah, kamu bisa protes di tempat itu”. Makhluk itu menunjuk pintu yang tak kalah indahnya.

Laki-laki itu pun berjalan menuju tempat yang ditunjukkan makhluk tadi. Sesampainya disana, ia begitu terkejut meyadari bahwa tak hanya ia yang berada di tempat itu. Bahkan mungkin ia berada di antrian yang ketiga ratu sekian. Dengan hati dongkol, ia meninggalkan antrian menuju sebuah pohon rindang dan berteduh di bawahnya. Ia pun terlelap.

Beberapa saat kemudian laki-laki itu terbangun. Saat ia membuka mata, betapa terkejutnya ia menyaksikan pemandangan disini sangat berbeda dengan yang tadi. Ia memang masih tetap berada di ruangan yang putih, tapi bukan lagi gumpalan awan. Disini ia menyaksikan tembok putih yang membatasi pandangannya. Di ruangan itu juga ia terdapat begitu banyak peralatn medis berupa selang-selang yang disambungkan ke beberapa bagian tubuhnya.

Laki-laki itu mencoba berbicara, tapi tak sepatah kata pun keluar dari dari bibirnya. Ia berusaha bergerak, namun tak satu pun anggota badannya yang bisa digerakkan. Ia melihat sekelilingnya, tak ada seorang pun disana. Ia hanya ditemani oleh peralatan medis yang menjejali tubuhnya.
Di tengah kepanikannya, ia melihat cahaya di balik dedaunan yang terus menembus jendela kamarnya. Seketika itu terdengarlah suara...

 “Fa idzaa ja’a ajaluhum laa yasta’khiruuna saa’atan wa laa yastaqdimun”
“Yaa ayyatuhan nafsul muthmainnah irji’ii ilaa rabbiki raadhiyatan mardiyyah”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar